06 June 2006

Manajemen Desain Grafis

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan dari beberapa teman-teman yang kebetulan mendapat sebuah project (side job)
"Berapa sih harga sebuah brosur?" atau bahkan "Kok harga desain katalog sama denga desain poster?"

Sebuah wacana yang tak pernah kunjung selesai: "Bagaimana menetapkan harga sebuah desain?"

Setahu saya, lulusan DKV saat ini mempunyai skill yang cukup baik, beberapa bahkan di atas rata2 (kalau tidak mau dibilang DASYAT!). Tapi ketika dapet sebuah project (yang sebenernya kecil) langsung gelagepan dan bingung setengah mati. Tanya sana, tanya sini, tanya teman dan tanya sama para seniornya.
Trus kalo dibilang misalkan sebuah angka mereka bilang: "Kok segitu sih? Kecil banget... Desain kan mahal!"

Intinya adalah manajemen! Pak Bastian, pernah dulu bilang ke saya: "Desain yang bagus itu yang sudah dibayar!"
Masalah klasik, tapi perlu pemahaman yang lebih modern saat ini.
Setiap desainer, selain memiliki hak untuk dibayar, juga memiliki kewajiban untuk membuat manajemen dalam desain grafis. Apa itu? Bukan Cuma kasih harga sekian, bikin, jadi trus dibayar!

Desainer yang baik dan mampu bersaing, harusnya mampu melakukan lebih dari sekedar itu semua.

Dalam sebuah project, baik itu besar maupun kecil haruslah memakai prosedur standar. Hal ini perlu dilakukan agar kita sebagai desainer mampu melakukan tugas secara profesional dan tidak disepelekan (baca: dimainin!) oleh klien.
Banyak juga terdengar cerita dari teman-teman yang mengeluh klien-nya rese, revisi terus menerus, harga yang tak pantas, dan waktu kerja yang molor terus. Ini adalah isyu yang menarik, karena banyak dari para rekan2 desainer yang dengan terpaksa menerima prpject dan klien yang tidak jelas dengan ucapan: "Gak papa deh, dari pada gak ada kerjaan."

Intinya adalah segala sesuatunya dimulai dari pro-aktif desainer, bukan dari klien. Kenapa? Karena klien datang kepada desainer dengan sebuah masalah. Dan sudah selayaknya kita desainer tidak lagi merepotkan mereka dengan ini-itu dan mampu menciptakan sebuah solusi yang tepat untuk permasalahan mereka.

Kemarin sore, seorang Dosen men-share beberapa tips dalam manajemen desain grafis.
Bahwa elemen-elemen dalam manajemen tersebut adalah:

1. Planning
Dalam tahapan ini perlu adanya perencanaan yang matang pada awal sebelum project dimulai. Perencanaan meliputi:
-
Time Planning, seperti membuat timeline project yang harus disetujui oleh klien. Timeline dibuat secara detail mulai dari proses konsep, desain, FA, sampai produksi, tergantung dari permintaan klien. Yang pasti disini terlihat profesionalisme kita para desainer dalam menghargai waktu dan deadline.
- Work Planning, seperti membuat workflow yang jelas. Tahapan demi tahapan disebutkan secara detail sehinggal klien tidak bisa seenak-enaknya mundur lagi ketahapan awal kalo dia sudah approval tahapan selanjutnya. Bisanya dibuat yang namanya Appoval Form untuk ditandatangani klien per tahapan project.
- Financial Planning/Budgeting. Sering disebut quotation yaitu penawaran harga. Mesti dihitung secara detail penggabungan antara design fee dengan ongkos/biaya lain seperti kertas, print, pembuatan mock-up, fotografi, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan desain yang dibuat. Hal ini dimaksudkan agar jangan terjadi kerugian secara finansial bagi desainer itu sendiri. Karena material dan biaya.ongkos seperti diatas itu TIDAK TERMASUK ke dalam design fee.

2. Orginizing
Mengatur semua elemen-elemen dalam proyek tersebut. Siapa-siapa saja yang bertanggungjawab dalam project tersebut.

3. Stuffing
Memaksimalkan segala fungsi-fungsi team yang ada. Misalkan kita sebagai seorang desainer bisa meminta tolong pembantu untuk memfoto copy, kurir untuk mengantarkan barang, atau paste up artist untuk membuat mock-up. Kalau pun pada akhirnya seorang desainer itu mengerjakan semua, maka harus dihitung tenaga dan waktu yang dikeluarkan.

4. Directing
Seorang desainer harus mampu mengarahkan, mengatur, dan memotivasi diri sendiri dalam sebuah project guna tercapaikan tujuan project tersebut yang yang pada akhirnya akan menjadi sebuah solusi bagi masalah klien.

5. Controlling
Ini yang sering dilupakan. Buatlah sebuah form checklist dalam setiap project untuk menghindari kesalahan-kesalahan kecil. Form berguna untuk memeriksa kembali apakah desain yang kita buat sudah sesuai denga brief dan mandatory klien. Sering kali karena kesalahan kecil, seorang desainer harus menderita kerugian yang begitu besar. Misalkan saya salah ketik huruf, lupa konversi warna ke CMYK dan sebagainya.

Semoga tips di atas bisa berguna bagi kita semua. Saya mendapat pelajaran yang berharga dari tips-tips di atas, bahwa ternyata skill bagus aja gak cukup kalo kerja tidak sistematis dan gak bisa kejual secara layak!
Besar keinginan saya bahwa ini tulisan ini hanyalah sebagai pembuka jalan. Masih banyak yang bisa kita diskusikan, dibantah, atau dipertajam guna kemajuan kita bersama.


Salam,

Inco Harper
Sr. Art Director
TBWA\Indonesia
Wisma Korindo Lt.5 Kav.62 Jakarta 12780
6221.797.6223 t
6221.797.6234 f
62815.900.3353 m
inco@tcptbwa.com

16 November 2005

Bukan sulap bukan sihir: Billing meningkat. Profit menurun.

Tulisan Budiman Hakim, Executive Creative Director MACS909
Majalah ADOI


Bukan sulap bukan sihir:
Billing meningkat. Profit menurun.


Isu akan adanya PHK besar-besaran di industri periklanan terbukti bukan isapan jempol belaka. Realitanya telah menggelinding di pertengahan tahun ini. Dimulai dari Grey yang melepaskan stafnya sebanyak 25 orang, akhir September, McCann Erickson juga mem-PHK kurang lebih 38 karyawan. Konon jumlah itu akan terus bertambah karena pelaksanaan eksekusi dilakukan secara bertahap. Beberapa agency lain menunggu giliran untuk melakukan tindakan yang sama. Lowe adalah salah satu nama yang paling santer disebut-sebut dalam gosip komunitas periklanan.

Kondisi industri saat ini memang jauh lebih menyedihkan dibandingkan situasi krismon di ujung tahun 90-an. Waktu krismon, pemecatan karyawan terpaksa dilakukan karena perusahaan memang kekurangan dari segi bisnis. Banyak klien yang meotong anggran budget promosinya bahkan menghentikannya sama sekali. Akibatnya cukup banyak karyawan yang makan gaji buta karena memang tidak ada yang bisa dikerjakan. Perampingan perusahaan dilakukan sesuai dengan minimnya bisnis yang ada.

Sekarang peristiwanya lain lagi. Belanja iklan nasional tiap tahun trendnya selalu naik. Logikanya tentu bisnis periklanan menjadi semakin membaik pastinya. Tapi kenyataan di lapangan, justru kebalikannya. Contohnya Subiakto Priosudarsono, President Director Hotline pernah mengatakan pada saya bahwa billing perusahaannya meningkat tajam tapi profitnya malahan menurun. Saya katakan pada beliau bahwa peristiwa yang sama juga terjadi di kantor kami. Aneh sekali kan?. Tidak perlu jadi orang yang jenius. Data sederhana ini saja jelas jelas telah mengindikasikan bahwa ada yang salah di industri periklanan kita.

Saya tidak berani gegabah membuat satu generalisasi apa yang terjadi di industri periklanan secara nasional. Yang ingin saya paparkan hanya apa yang terjadi di biro iklan saya, MACS909. Kalau saya berbicara tentang perusahaan saya sendiri tentu akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Soal apakah malapetaka yang terjadi di industri ini sama penyebabnya dengan apa yang terjadi di MACS909, silakan teman-teman di periklanan menilai sendiri.

Selama 3 tahun, sejak tahun 2000 kami memegang klien retail yaitu Matahari Department Store dan Matahari Supermarket. Dengan billing media sekitar Rp 45 M setahun, kami memperoleh profit yang cukup besar. Apalagi bagi perusahaan kami yang tergolong kecil-menengah ini. Dengan tambahan keuntungan dari klien-klien lainnya, kami bisa memberikan bonus cukup besar pada karyawan sesuai dengan lamanya bekerja.. Jadi yang telah bekerja selama 5 tahun bisa memperoleh bonus 5 kali gaji bulanannya. Beruntunglah mereka yang telah bekerja 10 tahun.

Masa keemasan itu sekarang hanya tinggal kenangan. Kehadiran Media Specialist telah membuat situasi perusahaan menjadi buruk. Kran media kami sudah tertutup. Hampir semua profit media mengucur ke Media Specialist. Padahal kalau dibandingkan dengan masa keemasan saat menangani Matahari, kami seharusnya memproleh profit yang jauh lebih besar daripada masa itu. Coba kita lihat analisanya.

Sekarang ini perusahaan kami mempunyai 3 klien yang menjadi back bone. Mereka adalah Djarum, Nestle dan Telkomsel. Sebagai perusahaan besar tentulah mereka telah menganggarkan billing media yang cukup besar untuk mempromosikan produk-produknya. Sayang sekali dari ketiga klien tersebut, tidak ada satu pun medianya yang ditangani oleh kami. Mari kita bicara omong kosong saja. Misalnya masing-masing billing media ketiga klien itu Rp 30 M setahun, maka jumlah semuanya menjadi Rp 90 M. Dua kali lipat dibandingkan billing tahun 2000. Dan Rp 90 M yang seharusnya kita kelola, berpindah ke Media Specialist. Bayangkan Rp 90 M menguap begitu saja…

Inilah jawaban dari pertanyaan; mengapa billing sebuah perusahaan naik tapi profitnya turun? Inilah jawaban mengapa belanja iklan meningkat tapi biro iklan justru napasnya megap-megap. Anak-anak saya setiap hari pulang malam bahkan tidak jarang pulang pagi karena pekerjaan sangat bertubi-tubi menghadapi liburan Lebaran, Natal dan tahun Baru. Tapi imbalan yang diperoleh sama sekali tidak signifikan. Setiap kali financial report, Head of Finance saya selalu melaporkan bahwa bulan ini kita rugi. Bulan depannya rugi dan bulan berikutnya rugi lagi…begitu seterusnya.

Seorang teman dari Media specialist berkilah bahwa trend bisnis di seluruh dunia semuanya memang menuju ke arah spesialisasi. Full service agency sudah kuno. Jadi kehadiran Media Specialist dalam industri ini adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Saya setuju 200% dengan pendapatnya tentang spesialisasi. Saya juga tidak menentang keberadaan Media Specialist, Creative Specialist, Account management Specialist…mau bikin apa juga terserah! Yang bikin kepala saya pusing cuma 1 hal; Kalau makanan semakin berlimpah, seharusnyalah semuanya ikut kenyang, bukan? Ini kok ada yang terlalu kenyang dan ada yang terlalu lapar?

Saya tentu juga tidak bisa menyalahkan klien kalau mereka memilih Media Specialist. Karena industri periklanan sendirilah yang menciptakan kondisi ini. Kalau saya menjadi klien, tanpa ada sedikit keraguan, saya juga akan memilih media specialist untuk menangani media saya. Feenya lebih murah, diskon dan bonusnya lebih besar. Coba bandingkan, daripada lewat MACS909 dengan fee antara 10% - 15%, lebih baik melalui Media Specialist. Mereka hanya mencharge klien 3%.

Sampai kapan pun biro iklan tidak mungkin bisa bersaing dengan Media Specialist. Kita tidak punya bargaining power terhadap media-media elektronik dan cetak. Volume kami terlalu kecil untuk memperoleh bonus dan diskon yang sama besar. Perlahan tapi pasti, performance media department kami pun merosot di mata TV-TV station dan media lainnya. Bahkan mau menayangkan iklan TVC PSA saja sering ditolak. Alasannya kembali ke performance: “Kita ga bisa memberi tayangan gratis untuk PSA ini karena biro iklan Anda juga jarang pasang iklan di TV kita”.

Saya rasa biro iklan lain juga merasakan hal yang sama dengan yang kami alami. Buktinya banyak agency yang semakin lapar. Rasanya aneh melihat agency multinational mau-maunya ikutan pitching klien baru dengan billing Rp 1 - 2 M setahun. Tapi begitulah adanya. Naluri untuk bertahan hidup membuat perang harga makin tidak masuk akal.. Biro iklan membanting Media fee serendah-rendahnya sampai 1%. Bahkan ada yang menawarkan 0% kalau dilengkapi dengan Bank Garansi. ‘Profit belakangan deh yang penting Cashflow dulu diselamatkan!’ Begitu argumentasi mereka.

Masalah terus datang bertubi-tubi. Group-group perusahaan besar dari client side akhirnya melihat peluang bisnis itu. Mereka pun ikut-ikutan mendirikan Media Specialist. Dengan suplay dari brand-brand yang ada dalam groupnya saja mereka sudah bisa memetik keuntungan yang tidak sedikit. Sangat dimengerti bila periklanan kemajuannya terhambat. Biro iklan yang lapar tentu ingin menyelamatkan priuk nasinya dulu ketimbang harus memikirkan penghargaan Citra Pariwara, apalagi Adfest dan lomba iklan internasional lainnya.

Waspadalah! Industri periklanan telah berada di pinggir jurang kebangkrutan. Kita yang berada di dalamnya harus bahu membahu menyelamatkannya. Ini masalah kita bersama. Kita berkewajiban menjaga industri ini tetap sehat. Harus ada aturan main yang jelas agar industri periklanan terjaga stabilitasnya. Salah satu caranya mungkin dengan memberikan system royalty sekian persen dari setiap penayangan materi kreatif? Atau cara yang lainnya, pokoknya harus dicari jalan ke keluar yang win-win solution.

Seperti sebuah gedung kropos yang telah retak di sana-sini, industri periklanan mulai rontok. Serpihan-serpihannya mulai copot, bermentalan dan jatuh ke bawah. Kita semua yang berada dalam industri adalah penopang gedung itu. Kita tahu bahwa gedung itu akan segera runtuh. Tapi tidak ada satu pun dari kita yang berusaha atau kelihatan mau mencegahnya. Padahal kalau industri periklanan bangkrut, tidak ada yang diuntungkan. Semuanya tinggal nama. Kalau sudah begini, apa yang akan dilakukan media specialist? Materi iklan apa yang akan mereka kirmkan? Apa mereka mau membangun Creative Department lagi? Jadinya Full service agency lagi dong?

Sekarang pimpinan Media department kantor kami sudah pindah. Ke mana? Tentu saja ke perusahaan Media Specialist. Sangat bisa dipahami. Apa yang hendak dilakukannya? Hampir tidak ada pekerjaan media di kantor. Sekarang sisa karyawan di media department kami hampir jadi pengangguran terselubung. Tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Mau diberhentikan rasanya tidak manusiawi. Mau dipertahankan tapi tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Akhirnya mereka dikaryakan untuk menangani pekerjaan-pekerjaan di luar media department sambil bersiap-siap bila ada keajaiban muncul. Misalnya tiba-tiba ada calon klien yang datang ke MACS909 dengan billing media Rp 100 M.

Kalau sudah begini apa lagi yang bisa dilakukan kecuali bermimpi?


15 July 2005

PSA Yayasan Sayap Ibu


Djito Kasilo, Creative Director
Inco Harper, Sr. Art Director
Yovinus Vida, Copywriter
Anthony Kaunang, Graphic Designer